Trenggalek, 6/2 - Puluhan kepala desa se-Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mendatangi DPRD setempat guna memprotes kesepakatan kepala KUA se-Jawa Timur yang enggan melayani pernikahan diluar jam kerja dan diluar kantor.
Salah satu kepala desa, Puryono mengatakan, akibat kesepakatan penghulu tersebut saat ini mulai berdampak langsung terhadap masyarakat, karena tidak bisa melangsungkan pernikahan di luar jam kerja maupun hari Sabtu dan Minggu. Pihaknya mendesak agar masing masing kepala KUA mau melayani masyarakat.
"Ya kami tetap menuntut bahwa ketika (penghulu) diminta melayani diluar kantor sesuai dengan aturan itu harus dilakukan," katanya.
Menurutnya, akibat kesepakatan kepala KUA se-Jawa Timur yang enggan melayani pencatatan pernikahan di luar jam kerja dan kantor mulai berdampak langsung terhadap masyarakat. Mengingat sebagian besar warga Trenggalek masih menggunakan metode perhitungan tertentu untuk menentukan hari pernikahan.
"Warga Trenggalek ini sebagian besar orang jawa, semua juga tahu kalau menentukan hari pernikahan itu tidak bisa seenaknya, apabila dalam perhitungan itu ketemunya pada hari Sabtu atau Minggu bisa jadi tidak nikah dong," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan kepala desa yang lain, Didik Herkunadi. Menurutnya aturan secara yuridis yang kini diterapkan kepala KUA se-Jatim tersebut bertolak belakang dengan aspek sosial yang ada di masyarakat. Sehingga apabila hal itu tetap dipaksakan, maka dapat menimbulkan dampak yang kurang baik ddi masyarakat.
"Kepala KUA harus luwes dan bisa memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat, jangan mempersulit," katanya.
Semetara itu terkait ketakutan kepala KUA terhadap gratifikasi uang yang diberikan masyarakat, menurut Puryono harus ditegakkan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
"Karena nikah itu ada standarisasi harga, kalau Rp30 ribu ya Rp30 ribu tidak boleh Rp31 ribu," tegas Kades Karangturi, Puryono.
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek, Nur Kholis mengaku pihaknya tidak dapat mengintervensi kebijakan yang diambil masing-masing kepala KUA, karena hal tersebut telah sesuai dengan aturan.
Menurutnya munculnya kesepakatan kepala KUA itu merupakan salah satu bentuk ketakutan para penghulu terhadap jeratan hukum karena menerima uang dari masyarakat saat melakukan pencatatan nikah.
"Kalau sesuai dengan aturan, jumlah biaya pencatatan nikah yang masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp30 ribu, Kami mengakui bahwa selama ini para kepala KUA itu menerima lebih dari itu," katanya.
Namun lanjut dia, jumlah uang yang diterima penghulu tersebut tidak serta merta masuk ke kantong pribadi, namun juga digunakan untuk operasional KUA maupun upah bagi petugas pembantu pencatat nikah (P3K) yang ada ditingkat desa.
"Karena petugas P3K atau modin itu sekarang tidak mendapat alokasi anggaran dari kementerian agama," ujar Nur Kholis.
Lanjut dia, sebagian penerimaan uang dari biaya pernikahan diluar Rp30 ribu tersebut juga untuk membangun kntor KUA, karena sejak tahun 1970-an, instansinya baru menerika alokasi pembangunan dari pemerintah pusat itu tahun ini, itupun hanya untuk lima kantor.
"Terus terang petugas penghulu saat ini takut menerima uang dari masyarakat, bahkan makananpun kami takut, karena bisa dikategorikan sebgai gratifikasi. Apabila menerima itu harus lapor KPK," katanya.
Meskipun demikian beberapa kepala KUA masi memberikan toleransi dengan melayani masyarakat yang ingin melangsungkan pernikahan pada hari Sabtu dan Minggu, dengan catatan dilaksnakan di kantor KUA.
"Kami mohon masyarakat bisa memaklumi, karena beginilah keadaannya. Karena kami tidak mungkin akan melayani di rumah-rumah warga dengan biaya sendiri, terlebih diluar jam kerja," imbuhnya.
Pihaknya menjelaskan, saat ini pememrinta pusat melalui Kementerian Agama tenga merumuskan peraturan baru terkait nominal biaya pernikaan termasuk yang dilangsungkan di luar kantor KUA.
"Kita tunggu saja nanti seperti apa, kalau memang harus ada biaya lebih dan itu aturannya jelas, tentu petugas kami akan melayani dengan baik," paparnya.
Aksi protes kepala desa se-Trenggalek tersebut merupakan dampak dari solidaritas kepala KUA se-Jawa Timur pada akhir tahun lalu. Solidaritas kepala KUA tersebut sebagai simpati terhadap salah satu kepala KUA di Kediri yang dipenjara akibat menerima uang 'gratifikasi' dari penyelenggara pernikahan.