Serangan Calon Presiden (Capres) Anies Baswedan terhadap Prabowo Subianto yang disebut tidak betah menjadi oposisi, menuai reaksi keras dari lawan politik. Ketua Umum Partai Garuda menyebut Anies ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.
Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana, mengatakan serangan Anies tidak sesuai dengan fakta, sebab Prabowo telah menjadi oposisi sejak pemilu 2009.
"Sudah puluhan tahun menjadi oposisi. Itupun kemudian bergabung dengan pemerintah Jokowi, masuk kabinet agar perpecahan di grassroot tidak semakin meruncing dan demi persatuan dan persatuan," kata Ridha Sabana, Jumat (15/12/2023).
Sedangkan Anies, baru beroposisi sejak dicopot dari kursi Mendikbud tahun 2016. Berselang setahun kemudian, pada 2017 Anies maju dalam kontestasi pilkada Jakarta dicalonkan oleh Partai Gerindra besutan Prabowo dan berhasil menang menjadi gubernur.
"Jejak digitalnya masih ada semua," imbuhnya.
Ridha mengatakan, data dari BPS DKI Jakarta, jumlah gereja di tahun 2018 itu 2.787, dan kemudian pada 2022 turun menjadi 1.293. Sedangkan terkait polusi udara yang disebut akibat tiupan angin, justru mengungkap fakta lain, data katadata, jumlah kendaraan pada 2018 sebanyak 22.5juta dan pada 2022 naik menjadi 26.4 juta.
"Artinya apa yang disampaikan Capres Anies dalam debat tidak sesuai fakta sebenarnya bahwa jumlah kendaraan tetap, polusi berbeda setiap hari karena akibat angin," ujarnya.
Ketum Garuda menambahkan kasus kematian anak Harun, berusia 15 tahun juga mengungkapkan fakta berbeda. Ayah Harun menyebut jika anaknya masih belum terlibat politik dan belum punya hak suara, karena masih dibawah 17 tahun.
"Jadi statement Capres Anies ini tidak berdasarkan data, tapi hanya lips services saat debat saja," jelas Ridha.
Ridha Sabana, mengatakan jika benar-benar konsisten dan jujur tetap menjadi oposisi, seharusnya partai koalisi pendukung AMIN menarik kadernya dari kabinet.
"Jadi antara ucapan dan perbuatan itu sama, tidak hanya bicara lips services dan retorika saja. Apalagi sampai menyalahkan angin," imbuhnya.
Seharusnya dana puluhan triliun untuk mengatasi polusi, juga dapat digunakan program untuk mengurangi daerah pendukung DKI Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok untuk bersinergi dan dimanfaatkan bersama.
"Tidak hanya menyalahkan tiupan angin," jelasnya.